LANGITKU NETWORKS, Makassar – Pengarusutamaan gender (PUG), bertujuan untuk menurunkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam mengakses dan memanfaatkan pembangunan. Juga untuk meningkatkan partisipasi serta peran perempuan dalam mengontrol pembangunan. PUG mendorong kesetaraan dan menjamin pemenuhan hak-hak perempuan, yang merupakan hak asasi manusia (HAM).
“Perda tentang PUG ini bagian dari wujud dukungan kebijakan untuk menghapus diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. PUG ini untuk memaksimalkan peran perempuan dalam pembangunan,” jelas Sri Rahmi, anggota DPRD Provinsi Sulsel, periode 2019-2024.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPRD Provinsi Sulsel itu berbicara di hadapan warga dalam Program Penyebarluasan Produk Hukum Daerah yang diadakan oleh DPRD Provinsi Sulsel. Kali ini, dia mensosialisasikan Perda Provinsi Sulsel Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah.
Sosialisasi Perda tersebut diadakan di dua lokasi berbeda pada Jumat, 4 Desember 2020. Pada pagi hari, kegiatan berlangsung di Wisma Latobang, Jln. Andi Mappaoddang, dengan peserta dari Kelurahan Balang Baru, Kecamatan Tamalate. Sedangkan pada sore hari, kegiatan diadakan di Aula Kantor Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Sulsel, Jln. Dr. Sam Ratulangi, Makassar, menghadirkan peserta dari Kelurahan Bonto Biraeng, Kecamatan Mamajang.
Kegiatan ini dihadiri antara lain oleh Ketua DPC PKS Tamalate, Muhammad Anwar, Ketua DPC PKS Mamajang, Sudirman, Lurah Barang Baru, Hari Muharram Amral, SE, tokoh masyarakat, tokoh agama dan beberapa Ketua RT dan Ketua RW.
Secara terbuka Sri Rahmi mengakui bahwa ada banyak aturan di provinsi tapi tidak disosialisasikan. Padahal aturan-aturan itu mengikat masyarakat. Bila masyarakat mengetahui keberadaan aturan tersebut, mereka bisa mengambil peran. Jangan sampai masyarakat baru tersadar bahwa ada aturannya begitu terkena dampak dan sanksi.
Sehingga, dia dan anggota dewan lainnya turun ke dapil masing-masing untuk sosialisasikan Perda PUG ini, biar perempuan dan laki-laki saling dukung, saling bersinergi bagi kemajuan Sulsel. Menariknya, kata perempuan yang akrab disapa Bunda itu, karena Perda ini menganut asas sipakatau, sipakalebbi dan sipakainga, yang merupakan nilai budaya masyarakat Sulsel
“Tugas kami di DPRD Sulsel adalah memastikan bahwa kebijakan, program dan anggaran harus berperspektif gender, di mana perempuan berperan serta, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan hingga evaluasi,” tegasnya.
Aktivis perempuan, Ida Rustam, mencoba mengubah paradigma peserta dengan menjelaskan tentang perbedaan gender dan kodrat. Disampaikan, ada salah kaprah di masyarakat tentang kodrat perempuan, seolah aktivitas domestik, seperti memasak, mencuci, mengasuh anak dan sebagainya, merupakan kodrat. Padahal kodrat perempuan itu hanya rahim, menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui, yang tidak dimiliki atau tidak bisa dilakukan laki-laki.
Inilah, lanjutnya, jenis kelamin yang membedakan perempuan dengan laki-laki. Ini kodrat yang tidak bisa dipertukarkan, sedangkan gender itu bisa dipertukarkan. Jadi, tambahnya, gender merupakan konstruksi sosial akibat pengaruh budaya, khususnya budaya patriarki.
Ida Rustam, yang pernah menjadi Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, juga memaparkan tentang bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Yakni marginalisasi, subordinasi, beban ganda, stereotipe/pelabelan, dan kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi.
Menurut Rusdin Tompo, internalisasi nilai-nilai gender yang berakibat pada peran gender, diperkenalkan oleh orangtua (keluarga), masyarakat, lewat pendidikan (kurikulum), juga media massa, bahkan melalui kebijakan negara yang dalam tataran tertentu masih bias dan belum adil gender.
Karena itu, peran serta masyarakat diperlukan. Apalagi Perda PUG menjamin masyarakat terlibat dalam penyelenggaraan PUG, mulai dari penetapan kebijakan, peningkatan kualitas SDM, penyediaan anggaran, hingga penyediaan fasilitas untuk PUG.(jalu)