LANGITKU NETWORKS, Jakarta – Sejauh ini tidak ada pil, suplemen, atau vaksin, yang bisa menyembuhkan penyakit Covid-19 yang disebabkan oleh virus corona. Kendati demikian, hal itu tak menyurutkan minat orang untuk memborong vitamin C dosis tinggi.
Seperti halnya ramuan rempah-rempah yang harganya langsung melambung karena dianggap bisa mencegah infeksi virus corona, saat ini vitamin C juga laris diburu masyarakat. Di Amerika Serikat saja, terjadi peningkatan penjualan vitamin C sampai 146 persen.
Di media sosial bertebaran anjuran untuk mengonsumsi vitamin C dosis tinggi untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan melawan virus corona.
Tetapi, apakah vitamin C dosis tinggi itu memang efektif menangkal infeksi virus?
Vitamin C merupakan suplemen vitamin yang paling populer. Kaitan antara vitamin ini dengan kemampuannya melawan penyakit dibuat oleh peraih Novel Kimia, Linus Pauling, yang menulis buku Vitamin C and Common Cold. Dalam bukunya, Pauling merekomendasikan 3000 miligram vitamin C setiap hari.
Buku yang ditulis tahun 1970-an tersebut sangat laris dan dicetak ulang dengan klaim bahwa bisa mengatasi epidemi flu babi (swine flu).
Studi-studi ilmiah selanjutnya menunjukkan bahwa klaim Pauling itu tidak akurat. Ketika ia menyebutkan vitamin C bisa menyembuhkan kanker, ia kehilangan kredibilitasnya di komunitas ilmuwan.
Walau begitu, keyakinan bahwa vitamin C bisa menyembuhkan flu tetap bertahan di masyarakat. Angka penjualan suplemen vitamin ini pun selalu berada di urutan teratas.
Menurut National Institute of Health, vitamin C tidak mengurangi risiko tertular flu, tetapi mereka yang mengonsumsinya mungkin durasi sakitnya bisa dikurangi atau lebih ringan.
Ahli nutrisi Kamal Patel mengatakan, tidak benar jika vitamin C dosis tinggi dapat menjadi pendorong (booster) sistem imun. Ia mengibaratkan sistem imun seperti sistem misil yang bekerja untuk menghalau segala bahaya.
Jika sistem imun dibuat terlalu peka, maka yang timbul adalah reaksi autoimun. Sebaliknya, jika kurang peka maka seseorang akan lebih gampang tertular penyakit.
“Sistem imun sangat kompleks dan sangat sedikit yang sudah kita ketahui. Jadi, sayangnya kita tidak bisa menggunakan sesuatu yang disebut ‘booster’ untuk membuat sistem ini bekerja lebih baik,” kata Patel.
Pasien Covid-19 diberi vitamin C
Rumah sakit di New York dan juga Wuhan memang memberikan vitamin C dosis tinggi pada pasien yang dirawat karena Covid-19. Dosisnya 16 kali lebih tinggi dari pada dosis harian individu yang sehat.
Menurut Patel, pemberian vitamin C pada pasien itu masuk akal karena orang yang sangat sakit kadar vitamin C dalam tubuhnya jadi rendah dan butuh segera digantikan.
“Manusia adalah satu-satunya mamalia yang tubuhnya tidak bisa membuat sendiri vitamin C, mereka harus mengasupnya. Jadi, ketika menghadapi stres psikologis yang berat, pemberian vitamin C lewat infus merupakan cara untuk mendapatkan antioksidan dan anti-inflamasi,” paparnya.
Saat ini para dokter masih mempelajari efek pemberian vitamin C pada pasien Covid-19. Setidaknya ada dua penelitian klinis yang dilakukan yaitu di Italia dan China. Di Hubei, China, 140 pasien Covid-19 yang menderita pneumonia diberikan 12 gram vitamin C lewat infus untuk mengetahui apakah dosis itu bisa melawan penyakit.
Walau demikian, siapa pun tidak direkomendasikan untuk melakukan uji coba semacam itu sendiri. Mendapatkan vitamin C lewat infus sangat berbeda dengan konsumsi suplemen, bahkan kita pun seharusnya berkonsultasi dulu dengan dokter sebelum mengasup vitamin C dosis tinggi.
“Sejauh ini tidak ada riset yang menunjukkan vitamin C bisa melindungi tubuh dari virus corona,” kata profesor biologi Miryam Wahrman, seperti dikutip dari Insider.
Kekurangan vitamin C memang berdampak buruk bagi tubuh, tetapi kita juga jangan berlebihan mengonsumsinya. Apalagi kadar yang tinggi bisa memicu pembentukan batu ginjal.
Untuk memenuhi asupan vitamin tubuh, sebaiknya konsumsi makanan karena dapat diserap dan digunakan tubuh secara lebih baik ketimbang melalui suplemen.
Editor : Lusia Kus Anna
kompas.com